Saturday, November 08, 2008

Investigative Reporting: Sebuah Proses Intelektual

All detectives are investigators, but not all investigator are detectives. The investigator needs a trail of investigative factors leading to further investigative factors and to successful conclusion of [the] inquiry. But if there are no investigative factors, [the investigator] is finished.
That’s where a detective comes in, a [person] who can paint a landscape he has never seen from inside a darkened room. It’s the difference between the craft and the art
.” James Barnet, dikutip dari panduan FBI untuk investigator (Ullman, 1995:24).

Penulis sengaja mencantumkan pernyataan James Barnet tersebut, karena reporter investigasi dapat dikatakan sebagai investigator. Williams (1978:15) secara terang-terangan menyatakan reporter yang akan melakukan pelaporan investigasi dikatakannya sebagai investigator. Jika dikaitkan dengan investigative reporting, profesi reporter investigasi hampir menyerupai profesi aparat penegak hukum. Perbedaan dengan aparat hukum dapat dilihat dari pernyataan Barnet. Tapi, terdapat pengecualian, seorang investigator dapat menjadi detektif jika ia telah mahir di bidangnya. Dengan begitu, ia dapat juga memprediksi kondisi yang bakal terjadi, tak ubahnya dengan detektif.

Perbedaan investigator dan detektif sama halnya dengan penyelidik dan penyidik. Serupa tapi tak sama. Penyidik mempunyai kekuatan hukum hingga mampu menyeret pelanggar hukum ke meja hijau. Ia berhak menahan si pelanggar bersama bukti-bukti kasusnya. Sedangkan penyelidik tidak berwenang melakukan sejauh itu.

Reporter yang “merangkap” profesi sebagai investigator[1] mempunyai beban berat dalam pencarian data dan fakta. Reporter tersebut harus mempunyai keahlian daripada reporter lain. Karena investigasi itu membutuhkan waktu lama, keahlian terhadap subyek investigasi, kemampuan mengembangkan sumber berkaitan dengan topik, kemampuan untuk memecahkan dan menjelaskan hal yang kompleks, kemampuan memformulasikan hipotesis-hipotersis, dan mengtes kembali hasil temuan dengan fakta dan opini yang berlawanan (Ullman, 1995:3).

Dari pemaparan Ullman tersebut, dapat dikatakan kerja investigator membutuhkan akurasi. Akurasi disini berarti ketepatan. Ketepatan disini bukan hanya berarti membaca dokumen resmi secara detil. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah akurasi dalam bekerja. Menurut Howe (1950:13), kerja yang akurat bagi investigator adalah “It consist in not trusting to others but attending to business oneself, and even in mistrusting oneself and going through the case again and again.” Berdasarkan hal itu, kesalahan demi kesalahan atas setiap informasi dapat dihindari.
Selain itu, investigasi tidak membutuhkan orang-orang penakut (Howe, 1950:2). Karena investigasi terkadang mengundang bahaya bagi investigator itu sendiri. Sukses dalam investigasi berarti persoalan telah jelas di tangan kita. Investigator yang hanya melakukan tugas separuh jalan, tidak dapat dikatakan telah menyelesaikan atau memecahkan persoalan. Investigator dituntut untuk mendapat hasil, bukan menghasilkan efek. Selain itu, ketika melakukan investigasi, investigator sangat dianjurkan tidak membuat sensasi. Tak heran, investigator terkadang melakukan penyamaran.

Di dalam investigative reporting terdapat tanggung jawab yang besar. Ketika melakukan investigasi, reporter bertanggung jawab atas setiap kata dalam laporannya. Informasi dari sumber kedua bukanlah sebuah “fakta”. Ia harus memastikan bahwa apa yang dikatakan sumbernya adalah benar apa adanya. Dalam hal ini, “..it’s no excuse to come back later and say, ’My source was mistaken’,” jelas James R. Polk, wartawan investigasi Amerika Serikat (AS) tahun 1970-an.

Tak heran, jika Seymour Hersh menyatakan, “The hardest thing to do in any reporting.” Lalu ia menambahkan, “is not write when you don’t have a story.” Seymour Hersh adalah reporter investigasi AS tahun 1970-an. Ia menyatakan permasalahan dalam investigative reporting bukan bagaimana reporter investigasi menulis atau melaporkannya, tapi bagaimana ia melakukan investigasi.

Lalu, bagaimana investigative reporting dilakukan? Jika ingin berbicara “bagaimana”, berarti mempertanyakan proses. Williams (1978) menyebut investigative reporting sebagai proses intelektual. Disebut begitu, karena berurusan dengan penggalian dan penyusunan ide dan fakta, membuat perencanaan-perencanaan, menganalisis pilihan-pilihan, dan membuat keputusan berdasar logika ketimbang emosi. Pemikiran Williams ini menjadi master of reference penelitian ini. Lebih lanjut, Williams (1978) menjabarkan proses investigative reporting terdiri dari (lihat gambar di bawah, SILAHKAN KLIK):









A. Conception
B. Feasibility study
C. Go/no-go decision
D. Planning and base-building
E. Original research
F. Reevaluation
G. Go/no-go decision
H. Key interviews
I. Final evaluation
J. Final go/no-go decision
K. Writing and publication


A. Conception
Menurut Williams, ide untuk peliputan investigasi dapat berasal darimana saja. Perolehan ide dapat dari membaca iklan penjualan rumah, pengumuman kebangkrutan suatu perusahaan, mutasi pejabat, hingga buletin suatu perusahaan. Williams membagi lagi sumber-sumber asal ide, yakni: tips, sumber, membaca, news breaks, legwork, perolehan angle berdasarkan cerita-cerita lain, serta observasi dan dokumen.

Tips. Di sini berarti petunjuk biasa. Banyak petunjuk yang dapat kita peroleh, seperti hasil pembicaraan kita kepada seseorang; bisa teman atau pun tetangga. Petunjuk dapat kita peroleh lewat berkunjung ke pengadilan, perpustakaan, dan membaca dokumen. Untuk menghadapi tipster (orang yang memberi petunjuk), harus melakukan screening terlebih dahulu. Di sini, investigator harus bersikap skeptis. Screening disini berarti mempelajari latar belakang tipster. Screening terhadap tipster tidak hanya berdasar karakter dan motif tipster saja, tapi kebenaran atas petunjuk yang diberikan, yang berarti harus dicek lagi. Intinya, menurut penulis, jangan mudah percaya.

Menurut Williams, jika screening kita tidak berhasil, kita dapat menyimpan informasi yang telah diberikan tipster dengan mencatat aktivitas, nama-nama yang terlibat, dan topik umum dari informasinya. Mungkin suatu hari, simpanan informasi ini bakal berguna dan membuat laporan investigasi kita bertambah tajam.

Sumber (dan established contact). Di sini mengarah kepada orang-orang yang berposisi memberitahu reporter tentang kejadian sebenarnya. Orang-orang ini tidak akan tiba-tiba muncul di depan pintu atau menelepon si investigator. Investigator harus mengetahui dan kenal orang-orang ini sebelumnya. Orang-orang ini telah diketahui keahliannya, dibangun, dicek, dan dilindungi selama ini oleh investigator. Setiap kali ketika reporter akan menulis laporan, ia bakal membutuhkan sumber-sumber yang berada di pemerintahan, bank, kesehatan, komunitas kriminal (preman atau pun mafia), dan sebagainya. Idealnya, setiap bidang gerak manusia, reporter mempunyai sumber di masing-masing bidang.

Bagaimana reporter bisa mendapatkan sumber? Awalnya adalah sebuah relationship dengan seseorang yang bisa didefinisikan sebagai established contact. Established contact adalah seseorang yang berada di dalam institusi target atau yang dekat dengan target investigasi kita. Orang ini telah kita kenal dengan baik, yang biasa mempunyai dan memberi informasi kepada kita. Hubungan investigator dengan orang ini susah untuk dilepaskan. Hubungan awal kita dengan orang ini adalah pertemanan. Setelah kita yakin bahwa teman ini “clean”, kita dapat menjadikannya sebagai sumber. Sebelumnya, keputusan untuk menjadikannya sebagai sumber harus dipertimbangkan secara matang.

Berkaitan dengan sumber, tidak aturan dasar ketika reporter berhubungan dengannya. Terkadang, investigator mempunyai hubungan berbahaya dengan sumber, ketika investigator berurusan dengan sumber penting dan rahasia. Hubungan reporter dengan sumber berdasarkan kepercayaan. Jack Tobin (William, 1978:63) menyatakan ketika reporter investigatif berhubungan dengan sumber-sumbernya, si investigator tidak boleh mengkaitkan mereka dalam laporannya. Si investigator memberi mereka dalam posisi penting dan “suci”. Jika satu kali investigator “membakar” sumbernya, si investigator bakal merusak jaringan informasi sumber.

Sumber yang bagus dapat memberitahu kita tentang sela-sela yang aman di sekitar target investigasi kita. Berkaitan dengan hal tersebut, sumber kita juga dapat menyetir kita untuk menghindari tempat atau sumber lain, dimana ia tidak ingin kita menyusurinya. Ini merupakan sebuah kontroversi bagi reporter, sebuah resiko. Untuk hal tersebut, si reporter harus melakukan penilaian profesional dan hati-hati, agar tidak terjebak oleh sumbernya sendiri. Karena hal itu, reporter membutuhkan konfirmasi dari sumber-sumber independen, catatan-catatan, dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam kasus yang sedang ia selidiki.
Sumber berbeda dengan tipster (lihat tips). Tipster hanya sekedar kontak biasa yang memberi kita informasi selintas. Tipster dapat saja disebut penggosip. Sedangkan sumber adalah orang yang memberi informasi dan bantuan dalam sebuah bentuk perjanjian (antara reporter dan sumber) yang berisi sang sumber tak akan dilibatkan dengan informasi yang telah diberikannya. Sumber adalah seseorang yang ahli dalam bidangnya, dimana kita saling mempunyai kepercayaan. Dapat dikatakan bahwa sumber adalah “partner” bagi si reporter.

Membaca. Setiap hari, reporter berurusan dengan informasi. Banyak yang kita peroleh dari lewat membaca informasi dan menganalisisnya, yakni mengambil benang merah dari isu yang berkembang, belajar teknik yang lebih baik, dan mendapatkan ide spesifik cerita. Wartawan pemikir kuat biasanya membaca lebih dari satu jurnal jurnalistik per bulan, laporan pemerintah, publikasi perdagangan, surat kabar lokal, buletin, dan trend reports. Ia membaca minimal beberapa buku per tahun. Ia membaca bukan hanya membunuh waktu, tapi juga saat mengerjakan pelaporannya. Pencarian isu atau pun ide cerita tak pernah berakhir, dan dengan membaca tentu akan membantu.

News breaks. Ide cerita terkadang muncul ketika kita membaca spot news. Kita dapat memperoleh lewat membaca surat kabar setiap hari. Kita harus memberi perhatian pada spot news dan memulai pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana” pada isi berita tersebut.
Legwork. Kata ini dapat berarti “jalan-jalan.” Memang mudah jika kita berdiam diri saja di kantor, menyalin informasi internal. Reporter yang pintar akan membuat tujuan, meskipun masih dalam investigasi, dan berkeliling. Berkeliling atau berjalan-jalan untuk melihat dan mengamati kegiatan orang-orang di luar pers. Misal, jika kita sedang berinvestigasi soal minyak, usahakan kita berkeliling dalam lingkungan orang-orang yang bekerja di peminyakan. Cari tempat nongkrong mereka, dan bergaul. Pada aktivitas ini terkait dengan undercover. Wartawan yang menyamar disebut legman. Soal ini bakal dibahas dalam tahapan original research.

Tangetial Angle. Ketika kita tengah berinvestigasi, kita mendapat sebuah cerita lain. Cerita ini dapat disebut tangential angle. Itu merupakan angle baru, tapi kita tidak dapat buru-buru menggantinya. Angle ini bisa dipakai untuk proyek investigasi berikutnya, atau hanya ditulis pada sebuah memo untuk me-review hasil akhir investigasi kita.

Observations and files. Berawal dari pertanyaan “apa yang bakal terjadi di masyarakat, jika sebuah kenyataan tidak pernah dipaparkan?” dan “Institusi apa yang bakal menghindar dari berita tersebut?”, mau tak mau observasi harus dilakukan. Observasi ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Williams (1978) memberi contoh kerja David Kraslow dan Stuart Loory dalam kasus kebijakan diplomasi Amerika Serikat (AS) terhadap Perang Vietnam. Saat itu, Kraslow dan Loory memandang selama ini publik hanya disuguhi informasi versi pemerintah AS. Hasil kerja mereka dimuat secara berseri di Los Angeles Times pada tahun 1968, dan kemudian dibukukan dengan judul The Secret for Peace in Vietnam.

Sebelum mereka memulai interview, mereka menyewa peneliti full-time untuk mengumpulkan dan menganalisis kronologi kebijakan pemerintah AS saat itu. Bahan-bahannya berasal dari klipingan surat kabar dalam maupun luar negeri, hingga dengar-pendapat parlemen. Mereka juga mewawancarai berbagai macam sumber. Sedikit sumber mereka yang yang punya akses langsung dalam hal kebijakan pemerintah AS. Tapi, mereka memadukan semua hasil wawancara dan dokumen yang mereka miliki.

Dari contoh yang diberikan Williams ini, penulis mencoba menarik kesimpulan. Melalui observasi yang dilakukan David Kraslow dan Stuart Loory, mereka mendapat ide peliputan. Dan jika diamati seksama dari contoh yang diberikan Williams itu, sebenarnya terdapat tahapan lagi antara ketika ide telah diperoleh dan sebelum penghimpunan data dan fakta, yakni pembuatan hipotesis. Penulis berusaha melengkapi pendapat Williams ini.

Hipotesis dibuat setelah perolehan ide. Ide didapat setelah mengalami proses berpikir secara global dan memakan waktu lama. Dalam investigasi, hipotesis sangat berperan. Hipotesis ini berguna mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hipotesis juga membuat investigator mempunyai sudut pandang sendiri terhadap sebuah kasus.

Pembuatan hipotesis ini tidak berarti bahwa investigator merasa benar akan sudut pandangnya. Sesuai dengan pendapat Ullman (1995:38), “This does not mean we needn’t be ‘right’ in our projects. We must be right about the facts and we must work just as hard on the antithesis as we do on the thesis. And then we let the reader in on why we arrived at the conclusions we do, so that they can agree or disagree.” Ini berarti bahwa dalam pembuatan hipotesis, investigator harus juga mempunyai kekuatan self-denying (Howe, 1950:12). Hal ini berkaitan dengan kerja investigator yang harus akurat.

B. Feasibility Study
Bob Greene menyebut tahap ini sebagai “the sniff.” Pada tahap ini, investigator harus mengendus kemungkinan-kemungkinan dan masalah yang berada di sekitar ide peliputan. Investigator harus memperhitungkan kemungkinan yang bakal terjadi ketika ia melakukan pekerjaannya. Menurut Williams, feasibility study ini, harus meliputi nilai berita, hambatan (obstacles), lawan/musuh (resistance), sumber daya (resources), what if?, dan proteksi.
Nilai berita (news value). Di sini menyangkut pertanyaan berapa banyak orang yang akan mengalami efek dari laporan kita? Apakah efek tersebut langsung dan jelas dari masyarakat atau efek itu hanya sekedar abstrak dan teoritis saja? Apakah hal ini penting untuk diketahui oleh segmen audiens kita?

Hambatan. Di sini berkaitan dengan pertanyaan apakah dokumen-dokumen yang dibutuhkan tersedia? Apakah sumber kita akan bicara tentang kasus tersebut? Apakah waktu dimana para anggota parlemen bertemu dengan anggota pemerintah dalam suatu pertemuan? Apakah kita dan teman kerja mengetahui bagaimana menjelaskan materi teknis yang berhubungan dengan kasus?

Hampir mirip dengan pendapat Williams, Ullman (ibid:4) merinci lagi hambatan yang bakal dihadapi oleh reporter investigasi adalah:
1. Akses terhadap Informasi. Sulit untuk mendapatkan orang yang terlibat kasus bersangkutan untuk mau bicara on the record atau pun hanya sebagai background. Selain itu, perolehan dokumen terkadang susah (atau hampir dikatakan mustahil) untuk didapatkan. Untuk hal ini, dibutuhkan waktu berbulan-bulan dan memakan biaya besar dari yang diperkirakan.
2. Belajar untuk penggunaan alat yang rumit. Ini berhubungan dengan alat-alat pendukung pelaporan, seperti komputer. Secara de facto, beberapa alat, seperti komputer, telah menjadi standar di lapangan. Biasanya, para reporter mengabaikan hal ini.
3. Pengabaian topik. Pemahaman mendalam terhadap sebuah isu yang akan kita liput merupakan hal yang vital. Biasanya, para reporter investigatif memulai peliputan hanya bermodal pengetahuan dangkal terhadap isu. Jika ini terjadi, reporter hanya melakukan investigasi “kata-kata.”
4. Tekanan / pressure. Ada dua tipe tekanan ini, yakni tekanan untuk membatalkan investigasi, dan tekanan untuk segera menyelesaikan investigasi. Biasanya, tekanan ini berasal dari dalam. Ullman, yang mempunyai pengalaman 15 tahun di investigative journalism, sering menjumpai reporter investigatif mengeluhkan tugasnya harus segera diselesaikan. Mereka mengeluhkan adanya tuntutan untuk segera dicetak atau ditayangkan.
5. Waktu. Ini merupakan “musuh” untuk semua pelaporan. Hampir sama dengan tekanan (pressure), tapi di sini terkait dengan sebuah event di luar media kita. Kompetisi dengan rival dari media kita dalam hal publikasi, atau waktu dimana saat para anggota parlemen berdebat kasus bersangkutan, sangat mempengaruhi investigasi yang sedang atau telah dilakukan.
6. Hukum. Aturan-aturan legal yang berlaku di masyarakat bisa menjadi bumerang bagi reporter investigasi. Untuk itu, investigator harus selalu ingat akan hal ini. Menurut penulis, biasanya investigator mencari celah yang bisa dimasuki dari aturan legal.
7. Boss. Reporter bekerja untuk perusahaam media. Mau tak mau, ia akan “terjebak” dengan aturan dan budaya yang berlaku di perusahaan bersangkutan. Reporter harus siap ketika sang bos skeptis dengan ide peliputan. Di sini, reporter harus bernegoisasi dengan atasannya. Antara atasan (Ullman memakai istilah “editor”) dan reporter harus terjadi sebuah kerja sama. Editor dan reporter harus menjadi partner (Ullman, 1995:149).

Lawan. Apakah pembela telah (atau akan) meminta hakim untuk tidak mengeluarkan dokumen atas kasus bersangkutan? Apakah target investigasi ini akan menambah tekanan bagi orang-orang yang terlibat sehingga mereka tidak bicara? Apakah mereka akan menuntut secara hukum?

Sumber daya. Berapa banyak orang dibutuhkan untuk melakukan tugas investigasi? Keahlian apa saja yang harus mereka miliki? Apakah kita butuh untuk menyewa atau membayar petugas kejaksaan dalam memilah 10.000 dokumen? Dapatkah mahasiswa komputer yang jenius membantu kita? Apakah atasan kita memberi waktu cukup untuk investigasi ini? Apakah kita dapat berinvesitigasi sendiri, dengan hanya dibantu satu veteran investigator?

What if? Kedua kata tersebut merujuk pada sebuah implikasi. Jika kita telah berinvestigasi, apa yang bakal terjadi pada hasil investigasi kita? Apakah hasil investigasi kita dapat melewati perangkat hukum? Apakah agen iklan akan lari dari kita? Apakah pemirsa atau pembaca akan memboikot? Apakah kasus tersebut yang membuat perusahaan kita tidak mau terlibat?

Proteksi. Di sini terdapat dua jenis aspek proteksi. Pertama, mempersiapkan keamanan dalam perusahaan kita sendiri, untuk menghindari hasil investigasi kita diketahui dan digunakan oleh musuh dari orang yang terlibat kasus bersangkutan. Sebaiknya, hasil investigasi kita disimpan dalam jangka waktu lama, dan kita hanya mendiskusikan pada orang-orang yang berhak tahu saja. Kedua, mempersiapkan serangan balik (counterattack) dari orang atau masyarakat yang berkepentingan dengan kasus tersebut. Atasan dan kita harus mempertimbangkan cara melindungi reporter investigasi dan perusahaan dari serangan itu. Caranya dapat dengan bekerja sama dengan aparat hukum, orang-orang parlemen, atau dengan menyimpan dokumen-dokumen kita dalam safety box.

C. Keputusan Go / No-Go
Pada tahap ini, investigator harus memutuskan apakah ia melanjutkan investigasinya atau tidak. Dalam proses intelektual ini (investigasi), tahapan pembuatan keputusan go / no-go bakal dijumpai sebanyak tiga kali. Ia harus mempertimbangkan semua aspek yang bakal dihadapinya, seperti yang telah dibahas pada tahap feasiblity study. Dalam pembuatan keputusan ini, ia juga mempertimbangkan hasil yang ingin dicapainya (goal), terutama dari perusahaannya.
Williams (ibid), merujuk pendapat Greene, terdapat dua jenis goal , yakni minimum goal, dan maximum goal. Minimum goal adalah publik mengetahui adanya kasus tersebut. Sedangkan maximum goal adalah pembongkaran siapa saja yang terlibat dalam kasus bersangkutan.
Jika reporter investigasi memutuskan untuk terus melanjutkan kerjanya, ia bakal berhadapan dengan tahap bagaimana merencanakan investigasinya.

D. Planning and Base-Building
Tahap base-building dapat berarti pemahaman dasar di sekitar wilayah kasus yang sedang diselidiki, termasuk aturan dalam jurnalistik investigasi. Dengan adanya base-building, reporter investigasi dapat menghindari “serangan” ketika hasil investigasinya dipublikasikan. Sedangkan planning meliputi metode, tugas, peranan, dan jadwal.

Metode. Ini terkait dengan cara kita menelusuri dan penyusunan fakta yang terjadi. Disini berarti penyiapan dan penyusunan dokumen sangat penting. “Let’s your files do your investigating for you,” ujar Bob Greene. Dengan adanya penyusunan dokumen diharapkan akan muncul petunjuk dengan sendirinya.

Jika kita tidak mempunyai petugas dokumentasi, mau tak mau kita harus melakukannya sendiri. Kita mengembangkan metode kita sendiri. Metode sederhana yang mungkin bisa dipakai adalah pembuatan cross-index. Pembuatan sebuah kartu index bakal membantu. Setelah itu, kita membuat cross-references di luar folder.

Metode dasar lain yang mungkin bisa dipakai adalah metode kronologis. Metode ini membuat kita mudah dalam memahami alur waktu sebuah kejadian atau fakta. Kita hanya menyusun waktu kejadian secara berurutan.

Tugas. Tugas merupakan aktivitas spesifik yang harus dimiliki dalam pelaporan investigasi. Menurut Steve Weinberg (1996: 13), tugas ini meliputi reporting, pendokumentasian, writing, copyediting, fotografi, grafis, dan accuracy checking.

Roles (peranan). Di sini terkait dengan pembagian peran. Menurut Williams, “Who will what jobs?” Jika terdapat seseorang yang biasa dekat dengan orang yang memegang dokumen publik, berarti ia bertanggung jawab terhadap pencarian dokumen tersebut. Jika terdapat seseorang yang mahir berbicara dengan orang lain, berarti ia dibebani dengan segudang wawancara. Kita harus mengatur peranan seseorang dalam investigasi.

Jadwal. Disini terkait dengan waktu wawancara; kita tidak akan melakukan wawancara sebelum informasi terkumpul di tangan kita. Oleh karena itu juga, kita sebaiknya menghindari wawancara dengan sumber kunci (key interview) sebelum informasi terkumpul.

E. Original Research
Secara garis besar terdapat tiga aktivitas pada tahapan ini, yakni pencarian dan penelitian catatan maupun dokumen (research records), interview, dan observasi. Jika kita tidak bekerja secara solo, alias bekerja secara tim, pada tahap ini bakal dibutuhkan pembandingan dan contrasting.

Semua aktivitas tersebut saling terkait. Sumber menunjuk pada dokumen atau catatan; dokumen mengarahkan kita untuk wawancara seseorang; wawancara satu orang akan mengarahkan wawancara sumber lain.

Research records. Williams merujuk pada pencatatan atas penemuan reporter di lapangan. Apa yang dilihat, apa yang dikatakan orang, hasil observasi, dan termasuk spekulasi reporter harus dicatat. Memang bakal banyak informasi yang tak kredibel, tapi bakal ada juga petunjuk informasi yang muncul dan dapat ditelusuri oleh reporter.

Dalam aktivitas ini, Williams memang hanya merujuk pada pencatatan dan penelitian data di lapangan. Sementara itu, Weinberg merinci research records tidak terbatas pendapat Williams. Di dalam bukunya, The Reporter’s Handbook: An Investigator’s Guide to Documents and Techniques (1996), Weinberg merujuk informasi awal dapat diperoleh lewat dua cara, yakni perolehan secondary source dan primary documents.
1. Secondary Source
Pengertian secondary source di sini tak sama dengan pengertian yang diajukan oleh Williams. Williams mengartikan source adalah orang. Sedangkan Weinberg mengartikan informasi yang telah dipublikasikan, baik lewat surat kabar, televisi, radio, majalah, disertasi, internet hingga buku. Secondary source satu dan yang lain saling berhubungan dan saling melengkapi.
Sumber kedua ini harus dikenal dan diakui, alias kebenarannya jelas. Meskipun begitu, reporter harus mengecek ulang sebagai koreksi. Sumber kedua dapat memuat titik awal dari investigasi kita.

Surat kabar sebagai secondary source memuat banyak hal yang berguna bagi investigator. Informasi rutin di koran terkadang memuat “seorang pejabat A terlihat bersama seseorang B di suatu tempat C.” Informasi seperti ini sangat berguna bagi investigator untuk melihat hubungan seseorang dengan yang lain dalam sebuah kasus.

Jika kita biasa membaca surat kabar ataupun majalah, kita dapat menjumpai tanggapan pembaca ke redaksi media bersangkutan. Biasanya disebut “surat pembaca.” Sebagai investigator, jangan pernah menganggap remeh terhadap surat pembaca ini. Terkadang investigator menemukan informasi penting dari seseorang dari surat pembaca ini.

Iklan, berita kematian, pernikahan, dan berita hukum, juga termasuk penting untuk dibaca. Dari berita-berita tersebut dapat dilihat hubungannya dengan kasus yang sedang diselidiki oleh kita. Siapa yang meninggal, kenapa ia meninggal, siapa yang menikah, bagaimana hubungan antara keluarga kedua mempelai? Khusus pengertian berita hukum, berita ini tidak hanya berita dengan cakupan penangkapan preman. Berita hukum itu dapat juga seperti kasus pelecehan terhadap anak-anak ataupun kasus cek dan uang palsu. Sedangkan iklan terkadang juga memuat hal yang mungkin terlewati pengamatan kita, seperti iklan tanah atau rumah. Apakah area rumah tersebut legal, apakah sesuai dengan tata ruang kota, apakah dalam sengketa?

Dalam membaca berita-berita tersebut, reporter juga harus cermat terhadap letak geografis surat kabar ataupun berita yang dimuat oleh surat kabar bersangkutan. Jika kita telah mengetahui letak geografisnya, kita bakal mengetahui latar belakang komunitas daerah tersebut, seperti pekerjaan, kelompok agama, dan lain-lain. Kita biasanya menjumpai surat kabar dengan segmentasi pasar berdasar kelompok masyarakat tertentu.

Pemberlakuan prinsip “membaca” ini bisa dilakukan juga ketika kita berhadapan dengan sumber kedua lainnya, seperti siaran radio, tayangan , dan majalah ataupun jurnal. Khusus untuk buku, reporter bisa mendapatkan background seseorang atau organisasi. Reporter bisa mendapatkan alamat, tanggal lahir, prinsip hidup orang bersangkutan, tujuan organisasi, hingga nama orang tuanya. Bila perlu, ketika reporter memperoleh buku penting dan berguna, ia dapat mengontak dengan penulis bersangkutan. Kita dapat memperoleh informasi yang relevan dari penulis buku bersangkutan. Informasi yang dimiliki oleh penulis buku terkadang ada yang tidak dimuat atau dipublikasikan di dalam buku tersebut.

Perolehan informasi dari sumber kedua juga dapat diperoleh lewat internet atau database komputer. Internet berkembang pesat pada tahun 1990-an. Pantas saja, jika Williams tidak memasukkan internet sebagai salah satu sumber informasi investigator. Internet tidak hanya terdiri “www” saja, tapi juga e-mail, FTP (file transfer protocol), newsgroup, Online information service, hingga Internet Relay Chat (IRC). Lewat internet, yang dihubungkan dengan database suatu perusahaan, kita bakal mengetahui profil perusahaan, institusi akademis, hingga profil individual.

2. Primary Documents
Weinberg merujuk primary documents pada catatan-catatan atau dokumen-dokumen resmi dari sebuah institusi atau seseorang. Catatan resmi disini dapat berupa id card, dokumen pajak, catatan angka kelahiran dan kematian, buku telepon, hingga arsip nasional.
Lewat perolehan primary documents, kita mendapat entry point dalam investigasi. Jika kita mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) seseorang, kita bakal mempunyai informasi pribadi orang tersebut. Mulai tanggal lahir, tempat lahir, dan umur. Dari situ, kita dapat menelusuri akte kelahirannya. Kita juga dapat mengetahui siapa yang tidak membayar pajak sesuai aturan, jika kita mendapatkan dokumen pajak atau hasil audit. Yang jelas, kita harus jeli memeriksa dokumen-dokumen penting.

Pada umumnya, untuk mendapatkan dokumen penting seperti itu sangat sulit. Menurut Williams (1978:58-59), terkadang kita harus menggunakan orang dalam, the insider. Nasihat “always be kind to secretaries,” sangat manjur ketika diterapkan untuk perolehan dokumen suatu perusahaan yang terkena kasus.
Untuk pencarian dokumen ini, Williams (ibid) memberikan petunjuknya:
§ Get the whole record, not just notes or excerpts.
§ Evaluate each document’s validity and possible weaknesses.
§ Compare and contrast similar or overlapping records–in other word,”triangulate.” (Untuk istilah ini bakal dibahas di aktivitas gap closing dalam tahapan original research).
§ Build and maintain a workable system of record keeping for yourself.
§ Get to know the people who keep records, and learn the systems.

Interviews. Aktivitas ini merupakan yang terberat dalam tahapan original research. Menurut Jerry Uhrhammer Presiden Investigative Reporters and Editors (IRE), investigative interviewing ini sangat berbeda dengan traditional interview (Ullman, 1995:47). Menurut Ullman (ibid), interview tradisional ditujukan untuk news dan feature. Interview jenis ini, reporter hanya berurusan dengan orang yang mempunyai keinginan berbicara on the record, dan orang ini tidak mempunyai ketakutan atas konstribusinya.
Berbeda dengan investigative interviewing. Seperti yang kita ketahui, investigasi selalu berurusan dengan membongkar “sesuatu.” Karena hal itu, biasanya, interviewee yang mengetahui kasus bersangkutan mempunyai banyak alasan untuk tidak buka mulut ke wartawan, baik secara on the record maupun hanya sebagai background cerita investigator. Tak jarang pula, sumber yang kita hadapi berdusta. Menurut de Groot (Williams, 1978:70), dasar mereka berbohong adalah “fear of being found about something they did, which they did out of fear and insecurity.”

Ketakutan mereka mungkin dapat saja dipahami oleh kita. Interviewee ketakutan akan resiko yang dihadapinya. Takut akan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan oleh wartawan. Takut akan konsekuensi yang akan ditanggung atas pernyataan-pernyataannya setelah dipublikasikan oleh media kita.

Wawancara investigative ini, menurut Uhrhammer, terdapat dua kategori, yakni information interview, dan interview dengan seseorang saat kita dalam investigasi. Dalam Information interview, reporter berbincang dengan seseorang yang mempunyai posisi berkaitan dengan subyek investigasi kita.

Menurut Jerry Uhrhammer, information interview ini biasa digunakan dalam kegiatan jurnalistik sehari-hari. Kita duduk dan berbincang dengan seseorang atau berbicara dengan seseorang by phone, dan kita menyodori mereka secara mudah dengan sederet pertanyaan.
Tapi, dalam investigasi, information interview ini berbeda yang digunakan interview jurnalistik sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan sebuah kasus yang akan diungkap oleh kita. Sumber yang mempunyai informasi penting dan rahasia, sebenarnya mau membagi informasi dengan reporter investigasi. Beberapa di antara mereka ada yang mau on the record. Beberapa di antara mereka juga ada yang ketakutan untuk memberi informasi, dan meinginkan proteksi terlebih dahulu. Menurut pandangan penulis, interview jenis ini dalam investigasi berguna sebagai langkah awal dalam investigasi atau sebagai background.

Kategori kedua, interview saat investigasi. Sebelum kita melakukan wawancara jenis ini, kita harus mempunyai persiapan pertanyaan. Mary Hargrove memberikan rekomendasi jenis pertanyaan yang harus disiapkan: pertanyaan yang telah dirancang secara total, dan pertanyaan alternatif untuk menghadapi sesuatu hal tak terduga. Dalam wawancara jenis ini, terkadang kita menggunakan trik menggertak sumber, dan menggunakan pertanyaan “kenapa” berulang-ulang, serta pertanyaan-pertanyaan to the point untuk mendapat jawaban spontan dari sumber.
Secara umum, dalam wawancara, kita harus selalu ingat terhadap tiga hal, yakni persiapan (preparation), control, dan information (Williams, ibid:62). Yang dimaksud persiapan di sini adalah pengetahuan reporter atas background topik liputannya. Reporter yang telah siap biasanya mempunyai elemen pengetahuan yang berasal dari dokumen-dokumen dan catatan dari hasil wawancara sebelumnya. Selain itu, wartawan yang telah siap juga mempunyai personal background si sumber. Personal background ini didapatkan dari bagaimana perolehan catatan atau dokumen sebelumnya (telah dibahas dalam research records). Tapi, pengetahuan atas profil sumber juga bisa diperoleh lewat interview dengan orang lain. Terdapat konsep kawan-lawan (Williams, 1978:73) untuk mengetahui sosok pribadi atau organisasi. Lawan disini berarti kompetitor bisnis, tetangga, musuh politik, kandidat politik yang ambisius, hingga atasan si sumber. Kawan disini merujuk kedekatan sumber dengan seseorang. Cari siapa kawan si sumber. Setiap orang mempunyai teman untuk berbagi rahasia, perasaan, ambisi, hingga ketakutan mereka.

Pengetahuan profil sumber ini berguna dalam mengetahui aspirasi, motif, hingga ketakutan sumber yang akan diwawancarai. Kita bisa mengetahui kelemahan si sumber, sebagai “pintu masuk” kita. Setelah itu semua, persiapan akhir yang harus dilakukan adalah pembuatan daftar pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat dievaluasi dan dipilah lagi; mana pertanyaan netral, informasi yang faktual, hingga pertanyaan yang kontroversial.
Sedangkan control terkait dengan “penguasaan” kita terhadap sumber. Penguasaan di sini berarti memotivasi sumber untuk memberi jawaban-jawaban. Disini, kita cenderung “menggunakan” emosi sumber lewat pertanyaan-pertanyaan yang kita berikan. Information; Dalam wawancara, sumber biasanya memberikan informasi penting. Untuk mempertegas informasi ini, reporter harus memberikan pertanyaan-pertanyaan agar sumber terpancing memberikan infomasi yang lebih dalam lagi. Biasanya, pertanyaan itu “Yang Anda maksud itu…?” atau “Jadi, dapat dikatakan…” atau dapat juga dengan “Hal ini berarti …?”
Banyak trik yang bisa dilakukan baik dalam wawancara maupun untuk mengadakan wawancara. Terkadang kita “menipu” agar sumber mau diwawancarai. Ketika sumber menanyakan kita sedang meliput apa, jangan pernah mengatakan “Saya sedang mengerjakan peliputan tentang…” Berilah sumber dengan penjelasan global atas peliputan kita. Jangan pernah kita mengatakan bahwa kita sedang berinvestigasi terhadap suatu kasus bersangkutan.

Observations. Observasi menempatkan reporter dengan pengamatan langsung. Ia mungkin melakukan dengan menyamar, ia melakukan banyak peran. Dalam melakukan investigasi, reporter tidak hanya dituntut untuk menjabarkan fakta permukaan saja, tapi ia juga diharuskan menjabarkan strategi, taktik, ambisi, alasan, motif dari para pelaku dalam fakta. Karena hal itu, mau tak mau reporter investigasi harus menjadi bagian dari mereka (Williams, 1978:93). Bagaimana si reporter melakukannya? Jawabannya: terkadang ia harus menyamar.
Soal menyamar ini memang menjadi perdebatan di kalangan jurnalis, terutama dalam hal moral dan etika (ibid, 1978:95). Untuk hal ini, penulis tidak akan membahasnya. Penulis berusaha tidak terjebak dengan hal itu, karena fokus tulisan penelitian ini pada proses, bukan moral dan etika.

Yang jelas, Williams (ibid, 1978: 94) menyatakan, “When people know you’re a reporter, they tend to act differently. They will clean off their desk, sweep the dirt under the rug, even tidy up their language. If they have been beating prisoners or patients, they will hide their whips, and the whipped, until the reporter leaves.” Lalu, Williams menambahkan, “Some will to strain to please the reporter. Some will make up answers to questions rather than admit they don’t know. Others will clam up, claiming they can’t remember what happened thirty minutes earlier.” Agar orang-orang tidak menghindari si reporter, reporter terkadang bekerja underground , bermain peran, berurusan dengan informan, hingga melakukan penguntitan (pengintaian).
Sebelum melakukan kerja seperti itu (menyamar), kita harus mempunyai pertimbangan matang. Pertimbangannya berdasarkan pada: informasi apa yang harus kita dapatkan? Dapatkah kita on the record? Melalui interview? Melalui menyamar atau terbuka? Jika kita membuka diri bahwa kita adalah wartawan, apakah sumber kita akan mengatakan sebenarnya?
Jika kita telah membuat keputusan untuk menyamar, terdapat beberapa aturan yang perlu diingat oleh reporter. “He must, while doing inside work, commit himself to understanding the external forces and pressures that explain the person or situasion he has under observation. He must be a passive observer, not a provocateur or a modifier of what he is observing. He must not, in other words, be manipulative or selective in his observation–any more than he should be myopic,” tandas Williams (1978:96).

Dalam kegiatan menyamar –si reporter disebut legman, si reporter sebaiknya tidak berada di “dalam” terlalu lama. Jika tidak, kita akan menyeret diri kita sendiri dalam sebuah kejahatan. Selain itu, kegiatan menyamar membutuhkan waktu dan memakan biaya tak sedikit. Tak lupa pula, kegiatan menyamar juga mengundang bahaya bagi diri reporter, dimana si reporter harus segera “keluar.” “In general, it is best to get into and out of an undercover situation as quickly as possible,” ujar Williams (1978:105).

Menyamar memang salah satu kegiatan yang dilakukan reporter investigasi. Kegiatan lain adalah perolehan sumber sukarela (volunteer sources) dan informan. Sumber sukarela dapat bagaikan emas bagi kita. Meskipun begitu, kita harus hati-hati. Menurut Williams (ibid:97), sumber sukarela ini dapat saja berperan sebagai double agent atau provokator, yang mempunyai motif mengagendakan sesuatu.Untuk itu, ketika sumber ini memberikan informasi, kita harus memastikan bahwa informasinya benar apa adanya dan penting, dengan mengecek ulang ke berbagai sumber.

Sedikit berbeda dengan volunteer sources, informan adalah orang yang direkrut untuk memberi informasi kepada kita, reporter investigasi. Informan dapat berasal dari tipster (lihat pembahasan tahap conception). Informan berasal dari dalam lingkungan target investigasi. Terdapat dua jenis informan, yakni informan gratis dan yang dibayar. Jenis paid informant merupakan masalah. Resiko menggunakan mereka adalah rata-rata memakan biaya besar.
Bagaimana jika si informan mempunyai sebuah dokumen penting dan rahasia? Menurut Bob Greene (Williams, 1978:100), kita menerimanya. Bagaimana jika dokumen tersebut hasil curian si informan? Bob Greene tetap berpendapat ia akan tetap menerimanya. “…I didn’t ask them to do the stealing…I’m probably receiving stolen goods, but I am only holding facts…,” ujar Greene.
Kalaupun informan mempunyai informasi penting, si informan harus dilindungi. Jika tidak aturan hukum yang mengatur soal itu, tugas reporter investigasi adalah ia harus mempunyai dukungan dari atasan dan perusahaannya (ibid). Si reporter juga harus mempunyai rencana untuk melindungi catatan dan dokumennya. Reporter harus mencari bantuan hukum yang bakal melindungi dirinya dan si informan secara maksimum.

Kita harus berhati-hati juga dalam memilih informan. Ada jenis informan yang sangat berbahaya bagi reporter. Informan jenis ini mempunyai kepentingan tersembunyi. Ia mempunyai keinginan untuk menimbun uang atas informasi yang dimiliki, dimana informasi berlawanan dengan asumsi reporter. Informan ini tidak berguna bagi kita, karena tidak mendukung investigasi kita. Informan jenis ini bakal merusak kredibilitas kita, jika ia mengungkap transaksi uang atas informasi yang ia miliki.

Kegiatan lain dari observasi ini adalah penguntitan atau pengintaian. Soal ini, Williams hanya menyarankan agar mempertimbangkan secara matang. Karena kegiatan ini masih dianggap melanggar batas privasi orang lain. Sebelum melakukan kegiatan pengintaian atau penguntitan ini, reporter harus memikirkan masak-masak dari sisi hukum.

Comparing and Contrasting. Pernahkah Anda bermain puzzle? Puzzle merupakan permainan menyusun bagian-bagian gambar yang terputus. Untuk menyusunnya, kita perlu membandingkan dengan bentuk potongan yang tersedia. Hampir sama dengan puzzle (tapi investigasi bukanlah permainan!), kita menyusun data dan fakta yang terkumpul. Setelah terkumpul, kita membandingkan dan memperlawankan antara data (atau fakta) yang satu dengan yang lain.

Gap-closing. Jika kita bekerja solo alias tidak mempunyai anggota tim investigasi, kita berdiam diri sejenak minimal seminggu. Saat itu, kita melihat kembali data dan fakta (setelah tahap comparing dan constrasting) yang terkumpul, melihat kembali catatan kronologis harian, dan kemudian memutuskan informasi baru apa yang muncul (setelah dicek kembali). Prosedur ini disebut “gap-closing.” Bill Lambert menyebutnya “triangulating.” Gap-closing merupakan soal memecahkan konflik berdasarkan dokumen, observasi, dan catatan interview yang berbeda.

Jika kita belum dapat memecahkannya, kita harus melakukan semuanya dari awal, mulai riset hingga observasi; tak peduli berapa banyak dokumen yang telah didapatkan, tak peduli berapa banyak interview yang telah dilakukan, tak peduli berapa kali kita observasi, berapa sering anggota tim melakukan comparing dan contrasting. Yang penting, “the gap must be closed,” tandas Williams (1978:29).


F. Reevaluation
Pada tahap ini, atasan kita yang melakukannya. Bos kita yang melakukan evaluasi atas kerja sementara kita. Kegunaan dari tahap ini adalah mengetahui sejauh mana tujuan yang telah dicapai oleh reporter investigasi. Hal ini terkait dengan minimum goal dan maximum goal yang telah dibahas sebelumnya. Minimum goal adalah publik mengetahui adanya kasus tersebut. Sedangkan maximum goal adalah pembongkaran siapa saja yang terlibat dalam kasus bersangkutan
Pada tahap ini, mau tak mau, kita harus siap dengan hasil evaluasi sang bos. Hasilnya mungkin:
1. Kita akan diberitahu untuk tidak melanjutkan investigasi, alias di-drop.
2. Kita akan diperintahkan untuk menyimpannya dahulu, tapi tetap memperhatikan petunjuk-petunjuk yang bakal muncul, dimana kita akan diperintah investigasi kembali.
3. Kita telah siap untuk key interview hanya untuk minimum goal.
4. Kita telah mempunyai laporan dengan minimum goal, dan terdapat kemungkinan mencapai tujuan maximum goal.
5. Kita siap untuk key interview dengan tujuan maximum goal.
Jika sang bos memberi lampu hijau, maka kita akan beranjak ke tahap berikutnya, key interview.


G. Key Interviews
Tahap ini menyangkut interview dengan seseorang yang dianggap memegang peran kunci dalam investigasi kita. Soal interview, penulis telah membahas dalam tahapan original research.
Kegunaan key interview ini adalah:
§ agar target berkomentar (atau membantah) atas informasi dan asumsi yang telah kita miliki.
§ untuk mendapat informasi tambahan.
Key interviewee (atau target) adalah orang yang mungkin biasa berurusan dengan media massa. Mungkin ia telah mengetahui apa yang telah kita dapatkan, dan siapa saja yang telah kita ajak bicara. Ia pasti mengasah dirinya dahulu, dengan banyak bantuan dan nasihat. Ia juga mempunyai desain strategi dan taktik untuk memukul balik.
Untuk memperoleh tanggapan ataupun informasi tambahan dari target, terkadang susah. Berdasarkan hal itu, tidak menjadi alasan bagi reporter untuk menghindari wawancara dengan target. Target mungkin saja menghindar dari kita. Kita harus mempunyai banyak cara. Jika target tidak mau menerima telepon, kita datangi rumahnya. Jika tidak mau membuka pintu, kirim surat. Jika tidak membalas surat, datangi pengacaranya, partner bisnisnya, keluarganya, hingga ketua partainya.
Jika kita telah mencoba semua cara, kita tinggal melaporkan ke publik, “Si A tidak mau memberikan komentar.” Sebuah cara terakhir.


H. Final Evaluation dan Final Decision
Tahap ini membuat reporter investigasi harus mengecek ulang semua informasi yang telah didapatkan. Membaca ulang dokumen-dokumen, mendengarkan rekaman wawancara atau melihat kembali rekaman video. Apakah pertanyaan kita saat interview jelas? Apakah jawaban sumber langsung mengarah point-point tertentu? Apakah sumber mempunyai alibi? Dapatkah kita cek?
Sedangkan keputusan final terkait dengan keputusan go atau no go. Saat pembuatan keputusan ini, reporter dan atasannya harus berdiskusi lebih dahulu.


I. Writing and Publication
Sebenarnya tidak ada rumus khusus untuk membuat suatu laporan. Yang jelas, kita harus merencanakan penulisannya. Perencanaan tersebut melibatkan dua prinsip, yakni kejelasan dan kreativitas
Yang dimaksud dengan kejelasan disini adalah kejelasan tema, bahasa, dan struktur penulisan. Sedangkan kreatifitas adalah dalam hal penggunaan komparasi dan metaphor yang kuat. Penggunaan kreatifitas dibarengi dengan fakta yang akurat dan kejujuran intelektual si reporter.
Sebelum reporter investigasi membuat tulisan, ia membuat sebuah outline. Sebelum membuat outline tulisan, ia harus menjawab beberapa pertanyaan:
§ Sebenarnya ini semua cerita tentang apa? Apa yang ingin kita buktikan?
§ Siapa yang bakal memberikan “sanksi”? Siapa yang akan tertarik dengan cerita kita?
§ Kenapa audiens kita tertarik? Apa yang membuat mereka tertarik dari cerita kita?
Ini cerita tentang apa? Sebenarnya untuk menentukan apa cerita kita tidaklah susah. Jika kita masih mengalami kebuntuan, Williams (ibid:136) menyarankan memulai dari apa yang ingin kita buktikan. Kita menceritakan “bagaimana hal tersebut terjadi atau bekerja.”Siapa yang memberi “sanksi”? Ini terkait dengan efek dari cerita kita di masyarakat. Untuk mengetahuinya, bos kita harus dekat masyarakat. Tidak hanya mempunyai kontak dengan seseorang dengan masyarakat, tapi juga mampu menganalisis seksama indikator-indikator sosial. Jika kita telah mendapat jawabannya, kita akan dapat menjawab kenapa audiens tertarik pada cerita kita, dan mereka mempunyai kepentingan apa dari cerita kita.

Checking and Production dan Follow-up Plan. Setiap cerita investigasi yang bagus adalah cerita yang selalu dicek dan recheck, sebelum dipublikasikan. Hal ini menyangkut nama dan reputasi kita, serta kredibilitas perusahaan kita. Sedangkan follow-up plan menyangkut rencana kita atas reaksi publik, institusi, ataupun pejabat, terhadap publikasi cerita investigasi kita. Follow-up plan ini dapat berupa rencana mempublikasi ulang, dan sebagainya.****
[1] Berkaitan dengan hal tersebut, dalam tulisan ini, penulis akan memakai kata “investigator” yang merujuk pada reporter investigatif. Untuk menghindari kebingungan ketika membaca dan memahami tulisan ini.
Daftar Pustaka
Hibert/Ungurait/Bohn, Mass Media: An Introduction to Modern Communication, David McKay Company, Inc., 1974.

Palapah, M.O., dan Atang Syamsudin, Studi Ilmu Publisistik, Fakultas Ilmu Publistik, Bandung, 1997.

Soeseno, Slamet, Teknik Penulisan Ilmiah Populer, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Rivers, William L., Editorial, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988.

Htttp://media.isnet.org/kolom/Ireporting.html (tulisan Andreas Harsono yang berjudul Wartawan dan Investigative Reporting).

Pusat Data dan Analisa TEMPO, 30 Tahun TEMPO (1971-2001), PT Tempo Inti Media, Tbk.

Ullman, John, Investigative Reporting: Advanced Methods and Techniques, St. Martin Press, New York, 1995.

Williams, Paul N., Investigative Reporting and Editing, Prentice-Hall, New Jersey, 1978.

de Burgh, Hugo, Investigative Journalism: Context and Practice, Routledege, New York, 2000.

Howe, Ronald Martin (editor), Criminal Investigation: A Pratical Textbook for Magistrates, Police Officers and Lawyers, Sweet & Maxwell, London, 1950.

White, Ted, Broadcast News Writing, Reporting, and Production, Macmillan Publishing Company, New York, 1984.

Weinberg, Steve, The Reporter’s Handbook: An Investigator’s Guide to Documents and Techniques, St. Martin’s Press, New York, 1996.

Mayeux, Peter E., Writing For The Broadcast Media, Allyn and Bacon, Inc., Massachusetts, 1985.