Tuesday, September 05, 2006

Kilas Balik Investigative Reporting
Istilah investigative reporting mulai santer dibahas di dunia, ketika Richard Nixon terdepak dari kursi kepresidenannya pada Agustus 1974. Berkat dua wartawan Amerika Serikat, Carl Bernstein dan Bob Woodward, kebobrokan Nixon terbongkar, menyangkut penyelewengan uang dalam pemilihan presiden. Tulisan kedua wartawan tersebut dimuat di Washington Post pada saat itu. Kini, hasil kerja keras mereka dituangkan di dalam buku All The President’s Men, terbitan Touchstone, New York. Selain buku, hasil kerja mereka juga difilmkan dengan judul yang sama.

Sebenarnya, investigative reporting bukanlah hal baru di dunia jurnalistik. Joseph Pulitzer, pendiri the Columbia University School of Journalism, sempat bermasalah dengan Theodore Roosevelt. Saat itu, Pulitzer menyatakan Roosevelt adalah pembohong besar. Pulitzer mengungkap kasus suap dan korupsi dalam pembelian tanah untuk Kanal Panama. Roosevelt pernah mencoba mengirimnya ke penjara. Sejak Pulitzer meninggal saat umur 64 pada tahun 1911, penghargaan jurnalistik prestisius memakai namanya untuk diberikan kepada para jurnalis berprestasi di dunia.

Sebelum istilah investigative reporting muncul, terdapat istilah muckcracking journalism terutama pada tahun 1902 hingga 1912. Istilah ini muncul saat majalah McClure’s sering menerbitkan artikel-artikel yang membongkar politik uang elit Washington. Lalu, di Amerika Serikat, istilah investigative reporting mulai santer ketika pada tahun 1975 didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. (IRE), di Columbia. Perkumpulan ini sekarang menjadi salah satu organisasi terkemuka dalam investigasi, dan mempunyai anggaran $800 ribu per tahun. Setiap tahun, IRE memberikan penghargaan terhadap wartawan yang menghasilkan liputan investigasi bagus.

Di Amerika Serikat, laporan investigasi memang begitu maju sampai-sampai terdapat klub reporter yang sangat dominan dan ditakuti. Suatu hari, wartawan anggota klub tersebut datang ke sebuah kota kecil untuk melacak kasus korupsi yang dilakukan pemerintah daerah kota tersebut. Baru saja ia berhasil mengungkap sebagian kasus tersebut, mendadak seorang pembunuh gelap muncul dan ia ditembak sampai mati. Kasusnya menjadi terbengkalai. Mengetahui anggotanya terbunuh, klub reporter tersebut berbondong-bondong mendatangi kota kecil itu. Sembari menyewa satu lantai hotel berbintang, mereka juga menyewa jago-jago tembak untuk melindungi mereka. Mereka mengusut tuntas kasus korupsi pejabat dan kematian rekan mereka.

Lain Amerika Serikat, lain pula Jepang. Wartawan Jepang cukup sopan dalam hal menelanjangi tokoh politk. Tapi toh mereka memberitakan juga bahwa Perdana Menteri Kakuei Tanaka pernah menerima uang sogok sebanyak US$ 2 juta dalam skandal Lockheed.

Khusus di Indonesia, istilah liputan investigasi kurang jelas mulai kapan populer. Menurut Andreas Harsono (1999), istilah ini mulai dipakai secara ekplisit pada tahun 1990-an. Majalah dwi-mingguan TAJUK, yang didirikan pada tahun 1996, dengan berani memposisikan diri sebagai majalah “berita, investigasi, dan entertainmen.” Majalah TEMPO juga menambahkan satu rubrik “Investigasi” ketika terbit kembali pada 6 Oktober 1998.

Sebelumnya, TEMPO sebenarnya sudah biasa memuat hasil liputan investigasinya. Pada tahun 1994, TEMPO pernah memuat keganjilan pembelian kapal perang bekas Jerman oleh Indonesia, dimana master mind pembelian tersebut adalah Habibie. Hasil investigasi menyatakan kapal perang tersebut tak layak dibeli oleh pemerintah Indonesia. Ujung-ujungnya, TEMPO dibredel.
Selain majalah TEMPO, TAJUK pernah memuat pengungkapan kasus penyeludupan solar dari Indonesia ke luar negeri pada tahun 1990-an. Wartawan Tajuk saat itu menyamar menjadi pengusaha. Kedoknya terbongkar, tapi kasus itu dapat diungkap.

Mungkin, hasil investigasi yang terkenal di Indonesia sebelumnya adalah liputan harian Indonesia Raya atas kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara tahun 1969 dan 1972. Harian ini melaporankan hasil temuannya bahwa terdapat mega korupsi di Pertamina dengan memaanfaatkan sumber-sumber dari dalam perusahaan. Pemerintah Soeharto maupun Pertamina membantah keras, tapi hal tersebut terbukti beberapa tahun kemudian.

Tak sadar, ternyata banyak juga hasil investigasi wartawan Indonesia. Salah satunya adalah Panda Nababan. Panda Nababan pernah mendapat penghargaan Trophy Adinegoro dari PWI Jaya atas hasil investigasinya tentang pungutan liar di Bandara Halim Perdanakusumah. Panda Nababan harus melakukan investigasi berbulan-bulan; dengan mencari keterangan yang disertai serangkaian wawancara. Hasil investigasinya dimuat secara serial di harian Sinar Harapan.Setelah Nababan, pernah mendengar nama Bondan Winarno dan kasus emas Busang? Mungkin masih melekat di ingatan kita, ternyata tambang emas Busang hanya pepesan kosong. Kasus ini merupakan kasus internasional. Bondan, yang wartawan freelance, harus “melancong” ke Calgary dan Toronto, Kanada, dan ke Manila, Filipina. Selain itu, ia juga menyusuri hutan rimba Busang, Kalimantan. Hasil investigasinya, ia paparkan dalam sebuah buku. Hasil investigasinya mengatakan pernyataan Busang adalah tambang emas terbesar di dunia, hanyalah sebuah tipuan. Bondan juga menyakini geolog senior Bre-X Michael de Guzman tidak mati bunuh diri. Ia yakin bahwa de Guzman masih hidup. Jika kita masih ingat kasus itu, kita bakal menyakini terdapat persengkolan internasional di balik itu, antara pihak Indonesia dan Bre-X. Beberapa saat setelah terdapat pernyataan Busang adalah ladang emas terbesar, harga saham Bre-X sempat naik berlipat di bursa saham Amerika Serikat.
(tulisan ini merupakan bagian dari skripsi S1 saya di Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran tahun 2003; judul: INVESTIGATIVE REPORTING DI TV, Studi Deskriptif Dengan Pendekatan Kualitatif Terhadap Proses Kerja Tim “Metro Realitas” Metro TV Dalam Melakukan Investigative Reporting).

No comments: